Perburuan ikan hiu akibat perdagangan siripnya untuk dikonsumsi masih
menjadi salah satu masalah utama dalam konservasi satwa saat ini.
Masalah perburuan hiu dinilai kompleks, karena melibatkan berbagai
dimensi dalam isu lingkungan, baik itu dimensi ekonomi, sosial, budaya
hingga konservasi itu sendiri. Upaya menghentikannya pun, bukan sebuah
perkara mudah. Selama masih ada pembeli yang mau menerima sirip-sirip
ini, maka pasar akan selalu terbuka, dan perburuan masih akan terus
terjadi. Butuh sebuah pendekatan yang holistik secara ekonomi politik
untuk mengatasinya, tidak cukup hanya menangkap pelaku perburuan, namun
juga memperkuat regulasi dan Undang-Undang serta penegakan hukum di
lapangan terhadap negara penerimanya. Hal ini dijelaskan secara gamblang
dalam tulisan Mary O’Malley dalam
www.bikyamasr.com yang diterbitkan 5 Oktober 2012 silam.
Dalam tulisan ini dijelaskan, kendati upaya untuk membatasi
perdagangan sirip hiu dalam konferensi CITES baru-baru ini gagal, akibat
kuatnya desakan kepentingan ekonomi dibanding keberlanjutan lingkungan
dalam jangka panjang, namun upaya penegakan peraturan untuk mengatasi
perdagangan sirip hiu tidak akan pernah berhenti.
Seperti yang dilakukan oleh lembaga Shark Savers/WildAid yang mencanangkan kampanye ‘
Say No to Shark Fin Soup‘
yang dilancarkan di Cina sebagai konsumen utama sirip hiu dunia, telah
berhasil mempengaruhi puluhan juta orang, dan hasilnya ternyata cukup
baik. Sekitar 80% orang yang melihat kampanye tersebut, menghentikan
atau megurangi konsumsi sirip hiu. Hal yang sama juga dilakukan di
berbagai kota besar dunia lainnya, seperti di Hong Kong, Kuala Lumpur,
Singapura, Taipei, Vancouver dan lain sebagainya, telah berhasil
menciptakan sebuah citra baru bagi konsumen sirip hiu, dari sebuah
hidangan yang dianggap bergengsi menjadi sebuah aktivitas kuliner yang
memalukan jika dilakukan.
Bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Di negara kita, perburuan hiu
sudah dimulai sejak era 1970-an, dan Indonesia adalah penyuplai sekitar
14% dari kebutuhan sirip hiu dunia antara tahun 1998 hingga 2002.
Terkait dengan meningkatnya pasar bagi sirip hiu untuk dikonsumsi, maka
tingkat perburuan ikan hiu di Indonesia juga terus meningkat. Perburuan
ikan hiu di Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1000 Metrik ton di
tahun 1950, menjadi 117.600 metrik ton di tahun 2003 dengan nilai ekspor
mencapai 6000 Dollar AS di tahun 1975 dan membengkak hingga lebih
dari10 juta dollar di tahun 1991. Sebagian besar sirip hiu ini
dikonsumsi oleh para penikmat kuliner kelas hotel bintang lima dan
sebagian restoran yang menyediakan masakan Cina kelas atas.

Terlihat jelas, bahwa pasar yang terus berkembang menjadi faktor
utama meningkatnya perburuan sirip hiu. Namun akibatnya jelas, ikan hiu
hanya dinikmati siripnya saja, dan selebihnya dibuang. Akibat praktek
ini sisa pembuangan daging ikan hiu terus terjadi di seluruh dunia,
setiap tahun sekitar 200.000 metrik ton bangkai hiu dibuang. Pengambilan
sirip ikan hiu, sudah dilarang oleh Undang-Undanga di berbagai negara,
namun hal ini masih legal di Indonesia. Apalagi, sekitar 90% kapal
nelayan di Indonesia berukuran kecil dan tidak memiliki sarana pendingin
yang memadai, membuang secepatnya daging hiu yang tidak dibutuhkan dan
hanya menyimpan siripnya, menjadi sesuatu yang jauh lebih efisien.
Nilai ekonomi yang tinggi juga dianggap sesuat yang menjanjikan bagi
para nelayan. Dalam setiap penangkapan, dari kasus yang diangkat tahun
1989 di desa Karangson do sebelah timur perairan Jakarta yang diteliti
selama dua bulan menyatakan bahwa keuntungan dari penangkapan hiu
setelah dipotong biaya operasi bisa mencapai 18 dollar AS (sekitar Rp
160.000 rupiah saat ini) untuk setiap kapal, dan dibagi setengahnya
kepada pemilik kapal, 20% untuk kapten kapal dan sepuluh persen untuk
setiap awak kapal. Namun faktanya, dari 22 kapal yang diteliti, drlapan
diantaranya justru mengalami kerugian, karena biaya untuk menangkapnya
lebih besar dibanding keuntungannya. Fakta lainnya, kendati harga sirip
hiu mengalami kenaikan signifikan dari era 1980-an ke era 1990-an, namun
biaya operasional untuk menangkap, dan keuntungannya bagi para nelayan
justru terus menurun.
Temuan yang juga menarik adalah, nelayan ternyata tidak mengalami
penurunan penghasilan yang signifikan jika tiak menangkap hiu. Dalam
sebuah studi kasus yang dilakukan di Jawa Tengah, peneliti mencoba
mengurangi tangkapan hiu mulai dari 25%, lalu meningkat 50% dan
meningkat lagi 75%, bahkan hingga 100% mereka tidak menangkap hiu.
Ternyata hasilnya sama, dengan tidak menangkap hiu penghasilan menurun
hanya berkurang sekitar 7% bagi pemilik kapal, dan hanya berkurang 3%
bagi awak kapalnya.
Dengan adanya temuan ini menjadi jelas, bahwa argumen beberapa
delegasi di konferensi CITES yang mengatakan bahwa pelarangan perburuan
sirip hiu untuk beberapa negara miskin seperti Indonesia, akan merugikan
nelayan menjadi tidak berdasar samasekali. Terbukti, bahwa nelayan
tidak mengalami kerugian finansial signifikan jika tidak menangkap hiu.
Keuntungan yang paling jelas diterima adalah para bandar ikan hiu,
serta sejumlah besar restoran di berbagai hotel bintang lima dan
restoran-restoran kelas atas di berbagai kota di Indonesia yang bisa
menjual sup sirip ikan hiu seharga Rp 950.000 semangkuk,
Puncak ekspor sirip hiu dari Indonesia adalah tahun 1990an dan
kemudian disusul dengan penurunan yang tajam seiring dengan terus
berkurangnya populasi ikan hiu. Akibatnya, perburuan yang tadinya bisa
dilakukan di berbagai lokasi di Indonesia, kini terus bergeser ke arah
timur, menuju ke wilayah Papua dan sekitarnya. Salah satunya adalah
perairan Raja Ampat yang memiliki kekayaan hayati yang sangat tinggi di
dunia dan menjadi bagian dari Segitiga Terumbu Karang Dunia. Dengan
siklus kelahiran sekali dalam setiap dua hingga tiga tahun, tekanan
perburuan ini semakin membuat populasi hiu tertekan di kawasan Timur
Indonesia.
Lalu bagaimana menekan perburuan hiu di Indonesia? Belajar dari Raja
Ampat, nampaknya ekowisata yang meningkatkan perekonomian lokal bisa
menjadi sebuah jawaban. Salah satunya adalah pembentukan Misool Eco
Resort yang dilakukan oleh Andrew, Marit Miners dan Thorben NIemann,
yang tidak hanya menjadi tujuan wisata belaka namun juga sebuah model
konservasi, keberlanjutan dan keramahan warga lokal. Mereka pun mulai
meninggalkan kebiasaan buruk dengan melakukan pemboman ikan, penangapan
hiu, karena memiliki sumber pendapatan alternatif yang lebih
menguntungkan. Karena lagi-lagi, nelayan tidak pernah diuntungkan dengan
kejahatan lingkungan, hanya pihak tertentu yang menikmati tanpa
memikirkan keberlangsungan sumber daya alam yang masih tersisa.